0

Temu Sastra Indonesia 2011 Digelar di Ternate

Friday, October 28, 2011
 
Temu Sastrawan Indonesia IV Tahun 2011 akan digelar di Ternate, tanggal 25 – 29 Oktober 2011.  Tidak kurang dari 200 sastrawan dari berbagai provinsi di Indonesia akan bertemu untuk bermusyawarah, mengikuti seminar nasional, pesta sastra dan peluncuruan beberapa karya sastrawan.
TSI akan diiukti oleh para sastrawan beken Indonesia serta beberapa sastrawan yang lolos seleksi atas karya yang sudah dikirim ke Dewan Kurator Sastra Indonesia.  Sidang Dewan Kurator Temu Sastra IV yang digelar selama dua hari di Jakarta (10-11/9) telah selesai menentukan, memilih dan memastikan karya-karya yang masuk ke dalam bunga rampai esei, cerpen dan puisi yang terpilih dalam event Temu Sastra Indonesia IV yang akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara tanggal 25-29 Oktober 2011 mendatang.

"Panitia akan melayangkan undangan resmi kepada semua peserta, baik peserta yang terpilih maupun karya yang lolos seleksi dewan kurator mulai Senin (12/9)," kata Ketua Pelaksana Temu Sastra Indonesia IV, Sofyan Daud di Jakarta, Minggu.

Walikota Ternate Burhan Abdurrahman dalam keterangan persnya mengatakan, pemerintah daerah Maluku Utara mendukung sepenuhnya pelaksanaan Temu Sastra Indonesia IV.

"Tentunya pemerintah daerah mendukung dilaksanakannya Temu Sastra Indonesia IV karena sangat berguna dan menaikkan serta membudayakan nilai-nilai seni," kata Burhan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Sultan Ternate Mudaffar Sjah, masyarakat Ternate pasti akan mendukung Temu Sastra Indonesia IV tersebut.

Untuk menentukan karya-karya yang akan ditampilkan dalam acara Temu Sastra Indonesia IV dilakukan seleksi yang ketat.

"Para penyair dan karyanya, misalnya puisi, banyak nama-nama baru yang menjanjikan bagi perkembangan puisi Indonesia. Karya penyairpun variatif dan memperlihatkan kekuatan dalam puisi yang mereka kirimkan," kata salah seorang kurator puisi Joko Pinurbo.

Sementara kurator bidang cerpen, Linda Christanty mengatakan, cerpen-cerpen yang diseleksi memperlihatkan kreativitas dan memperlihatkan  kekuatan dalam puisi tersebut,

Secara keseluruhan, dewan kurator terbagi atas tiga genre, yaitu untuk genre esai yang dikuratori oleh Nukila Amal, Zen Hae dan Jamal D Rahman.

Untuk genre cerpen ditugasi kepada Rumahitam, Triyanto Triwikoromo, Sihar Ramses Simatupang dan Linda Christanty. Sedangkan untuk puisi, kuratornya adalah Isbedy Setiawan, D Kemalawati, Joko Pinurbo dan Rudi Fofid.

"Naskah yang masuk ke panitia Temu Sastra Indonesia IV ini 248 cerpen, 495 puisi. Sedangkan esai yang dipilih dari karya narasumber yang diundang Temu Sastra Indonesia IV," kata Sofyan.(zul)
Daftar Sastrawan  yang Lolos Seleksi
1. Abdul Salam HS Banten
2. Ahmad Faqih Mahfuz Yogyakarta
3. Adin Jawa Tengah
4. Adri Sandara Sumatera Barat
5. AF Kurniawan Jawa Tengah
6. A. Faruqi Munif Jawa Timur
7. Ahmad Davis K Jambi
8. Ahmad Syahid Jawa Barat
9. Alek Subairi Jawa Timur
10. Alex R Nainggolan Jakarta
11. Arizal Tanjung Sumatera Barat
12. Alya Salasha Sinta Bekasi
13. Amin Basiri Jawa Timur
14. Arther Panther Oli Sulawesi Utara
15. Bambang Widiatmo Jakarta
16. Boedi Ismanto SA Yogyakarya
17. Damiri Mahmud Sumatera Utara
18. Dedi Supendra Sumatera Barat
19. Dedi Triadi Malang
20. Dian Hartati Jawa Barat
21. Dino Umahuk Ternate
22. Doddy Kristanto Jawa Timur
23. Doel CP Alisah Aceh
24. Dwi Setyo Wibowo Jawa Tengah
25. Edi Firmansyah Jawa Timur
26. Effendi Danata NTB
27. Esha Tegar Putra Sumatera Barat
28. Fajar Martha Riau
29. Fatkurrahman Jawa Barat
30. Fatih Kudus Jailani NTB
31. Febrie Hastanto Jawa Tengah
32. Frans Ekodhanto Jakarta
33. Galah Denawa Jawa Barat
34. Hanna Fransiska Jakarta
35. Herdoni Syafrians Sumatera Selatan
36. Herman RN Aceh
37. Herton Maridi Jawa Barat
38. Husen Arifin Jawa Timur
39. Husnu Abadi Riau
40. Idrus F Shahab Jakarta
41. Idris Siregar Sumatera Utara
42. I Putu Gede Pradipta Bali
43. Ishack Sonlay NTT
44. Jun Nizami Jawa Barat
45. KIKI Sulistyo NTB
46. Lailatul Kiptiyah Jakarta
47. Lina Kelana Jawa Timur
48. Mahmud Jauhari Ali Kalimantan Timur
49. Mahendra Jawa Timur
50. Maulana Satrya Sumatera Utara
51. Mohammad Ibrahim Ilyas Sumatera Barat
52. Muhammad Ridwan Jawa Timur
53. Mario F lawi NTT
54. Matdon Jawa Barat
55. Nanang Suryadi Jawa Timur
56. Nurhayat Arief Sumatera Selatan
57. Pungkit Wijaya Jawa Barat
58. Qizink La Aziva Banten
59. Restu Putra Jawa Barat
60. Rozi Kembara Jakarta
61. Rudi Ramdani Jawa Barat
62. Salman Yoga S Aceh
63. Shohifur Ridho Ilahi Yogyakarya
64. Sindu Putra NTB
65. Sulaiman Juned Sumatera Barat
66. Sulaiman Tripa Aceh
67. Sutan Iwan Sukri Munaf Bekasi
68. Setio Bardono Depok
69. Syaifuddin Gani Sulawesi Tenggara
70. Syaiful Rahman Jawa Timur
71. Sekar Arum -
72. Teja Purnama Sumatera Utara
73. Tulus Wijanarko Jakarta
74. Tina Aprida Marpaung Sumatera Utara
75. Toni Lesmana Jawa Barat
76. Tjahjono Widianto Jawa Timur
77. Umar Fauzi Ballah Jawa Timur
78. Wahyu Prastianto Jakarta
79. Vidy AD Daery Jawa Timur
80. Yan Zavin Auddjand -
81. Yori Komara Sumatera Barat
Data ini dikopi dari Kompasiana yang mengambil dari Grup TSI IV:
http://www.facebook.com/groups/ternate2011/?id=238218532891310&ref=notif¬if_t=group_activity
0

Seminar Sastra Indonesia di Dominasi Mahasiswa Bahasa Inggris (News)

Seminar Sastra Indonesia di Dominasi Mahasiswa Bahasa Inggris

Pabelan-online, UMS ? Senin, 06/06/2011 Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia dan Daerah (PBSID) mengadakan seminar sastra di ruang seminar gedung Psikologi UMS. Acara tersebut dilaksanakan dalam rangka Pekan Ilmiah Mahasiswa dan Pelajar (Pimpel).

Peserta seminar sastra dengan tema ?Menyemai pendidikan sastra membangun karakter anak bangsa? ini ternyata didominasi oleh mahasiswa bahasa Inggris. Maymunah (bukan nama sebenarnya), mahasiswa bahasa Inggris, mengaku mengikuti seminar ini karena diwajibkan oleh dosennya.

?Sebenarnya tidak ada motivasi mengikuti seminar ini, karena diwajibkan oleh dosen,? ungkapnya, Senin 06/06/2011. Dia menambahkan, dia harus mengikuti seminar ini karena ada tugas untuk meresum materi seminar sekaligus presensi.

Najma, dosen mata kuliah IAW, membenarkan bahwa ia memang mewajibkan mahasiswanya untuk mengikuti seminar sastra tersebut.

?Saya memang menyuruh mahasiswa Saya untuk mengikuti seminar itu,? jawab Najma, Senin, 06/06/2011. Najma menambahkan bahwa alasan mengapa ia menyuruh mahasiswanya mengikuti seminar itu karena bisa memotivasi mahasiswa untuk membaca ?Bisa nambah referensi dengan membaca, jadi bisa membentuk karakter anak bangsa? ungkap Najma.

Sementara itu, Lutfi Budiharjo Fakultas PBSID ketua panitia seminar mengatakan bahwa seminar ini terbuka untuk umum. ?Pesertanya dari semua prodi di FKIP,? jelasnya, Senin 06/06/2011. (Herlina, Nurul)

Sumber: Pabelan-Online
0

Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Resensi)

Thursday, October 27, 2011
Judul Buku : Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan.
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Kompas
Tebal : XXIV+184hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN : 978-979-709-452-2
Peresensi : Muhammad Sholihin*

Yudi Latif kembali menghentakkan kita dari keterlelapan panjang terhadap sastra. Ia bisikan ke telingga kita perihal kesastraan sebagai ruh suatu bangsa. Tanpa kesastraan, sebuah bangsa sesungguhnya tercerabut dari resonasi puitiknya. Melalui karakter tulisannya yang kuat, Kang Yudi seolah mengajak bahwa sudah saatnya bangsa ini kembali menyemai karakternya lewat kesastraan. Sebab, telah terlalu lama bangsa ini terbenam dalam kehidupan yang datar, tidak puitik -- di mana kehidupan begitu kaku tanpa dipayungi oleh ruh kesastraan, sebagai ruh dari budaya bangsa sendiri. Ini yang digugat oleh Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Kompas, 2009). Dalam pengantarnya ia, awali tulisan dengan kalimat debita ab erudito quoque libris reverenti, “kehormatan orang terpelajar berasal dari buku”. Dalam kesastraan ada kehormatan, dalam kata ada perlawanan, dan dalam kata ada gerak yang selalu menyala. Kata-katalah sesungguhnya yang menunjukkan karakter sebuah bangsa.

Indonesia di altar paradoksnya telah kehilangan dirinya yang paling otentik, yakni kesastraan. Setelah angkatan 66 berlalu, ditingkahi zaman, nyaris Indonesia tidak lagi bersentuhan dengan ruh kesastraan sebagai sebuah karakter budayanya. Politik berjalan di kabut kehampaan, menampilkan diri sebagai sebuah parodi. Hukum berjalan dengan nalar positivisme. Ekonomi bergerak dengan logika pragmatisme. Segenap aspek dalam organisme bangsa ini nyaris bermetabolisme tanpa ruh estetik dan puitik. Pucuk dari kondisi ini, kesastraan, kata Putu Wijaya dalam epilog buku ini, telah termarginalisasikan. Ironisnya, ruang publik tidak lagi menjadi momentum perjumpaan simbol-simbol eksistensial. Bagaikan gaung, ruang publik tidak lagi diisi oleh pergulatan menyemai karakter bangsa. Mengembalikan ruang publik kepada fitrahnya menjadi penting. Fitrahnya sebagai ruang bagi pergulatan kritisisme dan budi kreatif manusia dilangsungkan. Di sinilah kesastraan menuai peran.

Ruang publik adalah perkecambahan kesastraan. Ia tidak hanya bersipat diskursif, tapi juga eksistensialis. Ide ruang publik yang ditawarkan oleh Yudi Latif bertitik tolak dari akar historisnya. Di mana dalam bentuk yang paling purba, wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern berkisar pada isu “kemadjoean”. Kemadjoen dalam arti mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal; kemajuan pendidikan, modernisasi, kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup. Ruang publik amat penting bagi sebuah bangsa yang bergerak menjadi (being), memperkukuh karakter demokrasi. Karena itu, ia membutuhkan pasokan dari keberaksaraan dan kesastraan. Tanpa itu, maka ruang publik tidak ubahnya sebagai gaung dari lolongan sejuta srigala, menakutkan. Karena pada saat ini, perang identitas berubah ganas menjadi pembunuhan-pembunuhan tanpa nilai. Betul ruang publik adalah corpus terbuka, tapi jika ia diselinap oleh ruh diskursif tanpa nilai puitik-estetiknya, maka tak ubah ruang publik menjadi medan laga antara pelbagai identitas. Maka memasukan ruh kesastraan di ruang publik, dengan sendirinya mendorong bertumbuhnya rasa, ikatan, dan kejiwaan yang sadar akan pentingnya proses menuju tatanan ideal, eksistensial, berkarakter bagi sebuah bangsa.

Satu hal yang diperkukuh oleh Yudi Latif dalam bukunya ini, baik di ruang publik maupun di ruang state -- berupa hukum, politik, ekonomi -- kesastraan penting dan keberaksaraan adalah sebuah keniscayaan. Ini ia kemukakan dengan nalar yang kuat, belum tergoyahkan. Bagi Yudi Latif, lintasan fase perjuangan kebangkitan nasional itu secara jelas menunjukkan pentingnya perjuangan kata, bahasa, aksara, dan sastra. Bukan saja khas Indonesia, karena sesungguhnya tak ada bangsa yang dapat maju tanpa memuliakan keberaksaraan dan kesastraan. Dalam lima nalar ia kukuhkan argumentasinya, untuk mengatakan keberaksaraan dan kesastraan penting bagi sebuah bangsa. Pertama, tradisi tulis merupakan sarana olah ketepatan. Kedua, keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban. Ketiga, keberaksaraan merupakan organ kemajuan. Keempat, keberaksaraan sebagai instrumen budaya dan perkembangan saintifik. Kelima, keberaksaraan sebagai instrumen dari perkembangan kognitif. Terlebih ketika bangsa, katakanlah Indonesia, telah dijambaki oleh budaya kedangkalan. Maka kian pentinglah gerakan kesastraan dan keberaksaraan dibangkit dan dibiakkan kembali sebagai upaya menyemai karakter bangsa.

Meminjam teori Frank Furedi (2006), “the cult of philistinism”, Yudi Latif menggugat bahwa pemujaan terhadapp budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interest-interest material dan praktis, telah menjadikan universitas dan lembaga pendidikan lainnya sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme. Suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh ia menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Pucuk layunya, orang-orang yang membaca kesusastraan dan mengobarkan gairah intelektual berisiko dicap sebagai ‘elitis’, ‘tak membumi’, dan ‘marjinal’. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari, kedangkalan dirayakan. Ini sama saja menentang digdaya keberaksaraan dalam membangkitkan gairah Bumi Putra, dalam menghancur lantakan tanda-tanda kolonialisme. Katakanlah gerakan Sumpah Pemuda, Budi Utomo, dan Yayasan Kartini. Perjuangan itu berjalan atas nalar keberaksaraan dan kesastraan sebagai bara api yang kuat, mampu membakar tanda-tanda kolonialisme hingga tidak berbekas di Hindia Belanda.
Kini, Indonesia, dengan kegairahan keberaksaraan dan kesastraan yang masih tersisa, malah kian terancam oleh terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya televisi. Selainnya biasnya, kata Yudi Latif, terhadap kelisanan dan kemaharajalelaannya di tanah air, saat tradisi literasi rapuh dan kesastraan dimarjinalkan, memberi penguatan budaya kedangkalan seraya melemahkan fungsi-fungsi keberaksaraan. Tekanan pada utilitarianisme dalam kelemahan tradisi literasi dan erudisi memberi ketimpangan pada kehidupan publik.

Akhirnya, dengan pendekatan baru, Yudi Latif hendak menyadarkan betapa kesastraan dan keberaksaraan itu penting. Ia bukan saja mengembalikan peran pada kesastraan, tetapi juga mendorong bagaimana manusia Indonesia harus bertutur secara fair dan bijak tentang sastra dan aksara. Yudi Latif hendak mengembalikan makna, bahwa kesastraan sama halnya dengan bedil dan bambu runcing, menjadi bagian yang istimewa dalam sejarah perjuangan Indonesia. Pamungkas, buku Yudi Latif ini adalah mutiara yang baru saja terungkap kilaunya ketika kesastraan berada di kubangan pekat, hitam. Di sinilah buku Yudi Latif memuaikan makna dan mengingatkan pentingnya kita kembali menenggok kesastraan sebagai upaya menyemaikan karakter bangsa.[]

* Muhammad Sholihin, Peneliti PSIK-Indonesia, Jakarta
0

Pendidikan karakter

Wednesday, October 26, 2011
Apa itu Karakter dan Pendidikan Karakter?
Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut.
Sumber: www.google.com
Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:
  1. responsibility (tanggung jawab);
  2. respect (rasa hormat);
  3. fairness (keadilan);
  4. courage (keberanian);
  5. honesty (kejujuran);
  6. citizenship (kewarganegaraan);
  7. self-discipline (disiplin diri);
  8. caring (peduli), dan
  9. perseverance (ketekunan).
Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai dasar kemanusian yang harus dikembangkan melalui pendidikan bervariasi antara lima sampai sepuluh aspek. Di samping itu, pendidikan karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (bussiness).
Berkenaan dengan pengertian karakter, dalam tulisan di laman Mandikdasmen, Direktur tur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, PhD menjelaskan sebagai berikut. Karakter adalah “cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Lebih lanjut, Prof. Suyanto, PhD juga menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, yang kelihatan sedikit berbeda dengan sembilan pilar yang telah disebutkan di atas. Sembilan pilar karakter itu adalah:
  1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
  2. Kemandirian dan tanggungjawab;
  3. Kejujuran/amanah,
  4. Hormat dan santun;
  5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
  6. Percaya diri dan pekerja keras;
  7. Kepemimpinan dan keadilan;
  8. Baik dan rendah hati, dan;
  9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Jumlah dan jenis pilar yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain, tergantung kepentingan dan kondisinya masing-masing. Sebagai contoh, pilar toleransi, kedamaian, dan kesatuan menjadi sangat penting untuk lebih ditonjolkan karena kemajemukan bangsa dan negara. Tawuran antarwarga, tawuran antaretnis, dan bahkan tawuran antarmahsiswa, masih menjadi fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita. Perbedaan jumlah dan jenis pilar karakter tersebut juga dapat terjadi karena pandangan dan pemahaman yang berbeda terhadap pilar-pilar tersebut. Sebagai contoh, pilar cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya tidak ditonjolkan, karena ada pandangan dan pemahaman bahwa pilar tersebut telah tercermin ke dalam pilar-pilar yang lainnya.
Itulah sebabnya, ada sekolah yang memilih enam pilar yang akan menjadi penekanan dalam pelaksanaan pendidikannya, misalnya digambarkan sebagai berikut:
6 pillars character
Sumber: http://www.fisdk12.net/ww/faculty/mrsgruener.html
Dalam gambar tersebut, SD Westwood menekankan pentingnya enam pilar karakter yang akan dikembangkan, yaitu:
  1. Trustworthiness (rasa percaya diri)
  2. Respect (rasa hormat)
  3. Responsibility (rasa tanggung jawab)
  4. Caring (rasa kepedulian)
  5. Citizenship (rasa kebangsaan)
  6. Fairness (rasa keadilan)
Itulah sebabnya, definisi pendidikan karakter pun akan berbeda dengan jumlah dan jenis pilar karakter mana yang akan lebing menjadi penekanan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa “character education involves teaching children about basic human values including honesty, kindness, generosity, courage, freedom, equality, and respect” (http://www.ascd.org). Definisi pendidikan karakter inilebih menekankan pentingnya tujuh pilar karakter sebagai berikut:
  1. honesty (ketulusan, kejujuran)
  2. kindness (rasa sayang)
  3. generosity (kedermawanan)
  4. courage (keberanian)
  5. freedom (kebebasan)
  6. equality (persamaan), dan
  7. respect (hormat)
Pengertian karakter ini banyak dikaitkan dengan pengertian budi pekerti, akhlak mulia, moral, dan bahkan dengan kecerdasan ganda (multiple intelligence). Berdasarkan pilar yang disebutkan oleh Prof. Suyanto, PhD, pengertian budi pekerti dan akhlak mulia lebih terkait dengan pilar-pilar sebagai berikut, yaitu cinta Tugan dan segenap ciptaannya, hormat dan santun, dermawan, suka tolong menolong/kerjasama, baik dan rendah hati. Itulah sebabnya, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti atau akhlak mulia PLUS.
Terkait dengan kecerdasan ganda, kita mengenal bahwa kecerdasan meliputi empat pilar kecerdasan yang saling kait mengait, yaitu: (1) kecerdasan intelektual, (2) kecerdasan spiritual, (3) kecerdasan emosional, dan (4) kecerdasan sosial. Kecerdasan intelektual sering disebut sebagai kecerdasan yang berdiri sendiri yang lebih disebut dalam pengertian cerdas pada umumnya, dengan ukuran baku internasional yang dikenal dengan IQ (intellegence quotion). Sementara kecerdasan yang lainnya belum atau tidak memiliki ukuran matematis sebagaimana kecerdasan intelektual. Kecerdasan di luar kecerdasan intelektual inilah yang lebih dekat dengan pengertian karakter pada umumnya. Dalam hal inilah maka, sebagaimana dijelaskan Prof. Suyanto, PhD, kita memahami pernyataan Dr.Martin Luther King, tokoh spiritual kulit hitam di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat, atau intellegence plus character. ”That is the goal of true education”, demikianlah tambahnya. Itulah tujuan pendidikan yang sebenarnya, yakni menciptakan manusia yang cerdas secara komprehensip, keseluruhan aspek kecerdasan ganda tersebut.
Dengan demikian, pengertian karakter sebenarnya merupakan bagian dari kecerdasan ganda yang dijelaskan Howard Gardner dengan teorinya kecerdasan ganda, yang meliputi tujuh macam kecerdasan yang sering disingkat SLIM n BIL, yaitu:
  1. Spatial (keruangan)
  2. Language (bahasa)
  3. Intrapersonal (intrapersonal)
  4. Music (musik)
  5. Naturalist (naturalis – sayang kehidupan alam)
  6. Bodily Kinesthetics (olahraga – gerak badan)
  7. Logical Mathematics (logikal –matematis)
Ketujuh tipe kecerdasan ganda menurut Howard Gardner tersebut terkait dengan potensi universal manusia yang perlu dikembangkan melalui pendidikan. Itulah sebabnya, amatlah tepat amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan tentang empat tujuan negara ini didirikan. Salah satu tujuan itu adalah ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, dalam arti menemukan dan mengembangkan potensi kecerdasan semua anak bangsa. Anak bangsa yang memiliki potensi kecerdasan spatial, didiklah menjadi arsitek yang handal. Anak bangsa yang memiliki potensi kecerdasan language, didiklah menjadi ahli bahasa yang hebat. Demikian seterusnya dengan potensi kecerdasan yang lainnya, sampai dengan potensi kecerdasan logical mathematics, didiklah menjadi intelektual yang handal.
Pengembangan ketujuh potensi kecerdasan tersebut, sudah barang tentu harus dibarengi dengan pembinaan karakternya. Arsitek yang handal sudah barang tentu harus memiliki enam atau sembilan pilar karakter yang telah disebutkan. Demikian seterusnya dengan potensi kecerdasan yang lainnya.
Anak-anak bangsa Indonesia harus dikembangkan semua potensi kecerdasan gandanya. Upaya inilah yang menjadi kebijakan utama pembangunan pendidikan nasional di negeri tercinta ini. Amanat mencerdaskan kehidupan bangsa harus selalu menjiwai setiap daya upaya pembangunan pendidikan. Tidak ada pendidikan, tidak ada pembangunan sosial-ekonomi. Demikian pesan Ho Chi Mien, bapak pendidikan bangsa Vietnam kepada aparat pendidikan di negaranya. Hanya dengan pendidikan, negeri ini akan dapat kita bangun menjadi negara dan bangsa yang memiliki daya saing yang setaraf dengan negara dan bangsa lain di dunia.
0

Cerpen (Tepi Makam Pahlawan)

Subuh menjelang, kokok ayam bersahut-sahutan. Hawa dingin menusuk relung, menggigit tulang para penghuni, dilanda gelisah. Menggerutu. Betapa hari tak maui membiarkan pulasnya tidur, tarikan selimut rapat-rapat diikuti paduan suara ngorok bernada sumbang. Komposisi alamiah tanpa dirijen-partitur, merentak, mengutuk hidup betapa cepatnya pagi menyapa.
Tapi Hasan tak terganggu igauan para tetangga menikmati tidur ditemani nyamuk nakal penghisap darah, menari-nari selepas kenyang berbagi hidup sepanjang malam. Seisi penghuni Kampung Sei Lepan, sudut sebuah kota, dibawah Jembatan Kalimati, tak terganggu bersanding suara riuh sungai kotor, meluap sehabis hujan deras sepanjang sore hingga malam.

Selepas lafal doa terakhir Hasan bangkit, melipat sarung dengan rapi, meletakkannya ke dalam lemari penuh hati-hati. Tak lupa sajadah bergambar Ka’bah -warnanya pudar- disimpan dibawah rak baju tak seberapa. Peci hitam yang dipakainya digantung di dinding sebelah baju sekolahnya. Sarung dan peci itu, pemberian almarhum ayahnya menjelang lebaran tiga tahun lampau dari seorang dermawan yang mengadakan sunatan massal gratis dikampungnya. Perlahan dia keluar dari kamar, berjalan menuju dapur yang menyatu dengan kamar mandi. Ditengoknya, ibunya sibuk menyiapkan kue-kue, kerupuk ke atas nampan. Hasan jongkok, ikut membungkus kue-kue dan kerupuk hasil masakan ibunya tadi malam.
Ditemani terangnya lampu teplok , Hasan dan Ibunya, Ratih bergegas menyelesaikan bungkusan kue-kue, kerupuk yang berjejer rapi. Takut hari meninggi, mengusir rezeki ditengah kerasnya hidup yang harus ditaklukkan. Bersaing dengan waktu terus berjalan. Tak peduli seorang perempuan beranak satu berjuang mensiasati hidup selepas ditinggal mati suaminya. Hidup adalah perjuangan. Hasan lincah membungkus kue-kue, mengikatnya erat. Sudah terbiasa dikerjakan sejak bapaknya tak ada. Kue dan kerupuk harus dijual pagi ini jikalau tak mau kehilangan rejeki tuk bertahan hidup.
“Sudah sholat kau Nak?,” kata Ratih lembut, menyapa anaknya.
“Sudah Mak, kudoakan juga supaya jualan kita laku,” jawabnya lugas, percaya diri memandang balik ibunya.
Ratih tersenyum getir, sudah empat hari ini dagangannya tak laku, setengahnya-pun tak habis. Dia elus kepala anaknya penuh ketulusan. Berusaha tegar walau hatinya sedih, perih mengingat dia harus membesarkan anaknya sendirian. Berjuang ditengah ganasnya ujian kehidupan yang mendera. Godaan para lelaki yang ingin mempersunting agar mengakhiri status janda yang disandangnya. Dia selalu menolak halus tawaran itu. Belum siap melupakan Amir, suaminya yang mati mengenaskan ketika menyelamatkan seorang anak dikampungnya. Terbawa banjir sungai yang meluap, menerjang kampung dua tahun silam. Anak yang ditolongnya selamat sedangkan Amir tak mampu bertahan menuju tepian, kelelahan, kalah terbawa arus. Tenggelam diantara tumpukan sampah, bongkahan kayu diiringi jeritan menyaksikan wajah suaminya terakhir kali sebelum hilang ditelan air bah sungai yang meluap. Esok hari baru ditemukan, mengambang di pintu air, tiga kilometer dari kampung. Mengingat peristiwa itu, kadang Ratih menitikkan airmata. Tengah malam, dia tak henti berdoa, bersujud memohon kekuatan Maha Kuasa membesarkan pangeran hatinya, Hasan. Satu-satunya buah cinta bersama almarhum suaminya. Ya, dia harus kuat. Sapaan Hasan menyadarkan lamunannya.
Kue dan kerupuk sudah beres dimasukkan. Sekarang tinggal berangkat ke tempat Ratih biasa berjualan di samping Taman Makam Pahlawan. Hasan sudah berpakaian sekolah. Dari tempat jualan, dia langsung berangkat ke sekolah. Pintu rumah dikunci kemudian bergegas berjalan menembus pagi, mengalahkan dingin tak terperi. Ratih mengangkat nampan diatas kepalanya, dipegang supaya tak jatuh. Hasan ikut membawa kantong berisi kue dan kerupuk melintasi gang, selokan. Beberapa tikus masih berkeliaran dalam got tak mau kalah.

****
Sepulang sekolah, Hasan langsung ke tempat jualan menemani ibunya menunggu para pembeli. Bocah berperawakan kurus ini duduk di kelas tiga sebuah sekolah dasar. Dia siswa yang berprestasi, kerap mendapat juara kelas. Bahkan membawa harum sekolahnya pada perlombaan baca puisi di kantor Gubernur minggu lalu. Hasan mengalahkan sekolah yang kerap menjadi langganan juara. Menurut gurunya, minggu depan dia akan berangkat ke Jakarta mewakili provinsi di pentas nasional. Bukan main bangganya Hasan terlebih ibunya, Ratih mendengar kabar itu melalui sepucuk surat dari dinas kemarin.
Hari menjelang sore, kue-kue jualannya hampir habis. Sejenak dia melongok mencari anaknya.
“Hasan dimana kau Nak?,” teriak Ratih memanggil anaknya. Sejak tadi tak kelihatan.
“San..Hasan..Hasan..!,” teriaknya berulang kali. Nada cemas terlihat dari panggilannya. Khawatir.
Wajahnya celingukan mencari Hasan. Sudah sejam sejak anaknya sampai, tak kelihatan. Dia sibuk melayani pembeli. Lumayan banyak pembeli hari ini. Terlupakan anaknya.
“Coba kau tengok di dalam taman Ratih!, mana tau dia ke sana,” kata Wak Soleh, pemilik warung rokok sebelah.
Ratih bergegas menuju pagar tembok taman, sambil melihat cemas arah yang dimaksud Wak Soleh. Ternyata benar. Hasan berada disana, diantara jejeran makam, berdiri tegak mematung sambil memperhatikan nisan-nisan bercat putih. Terawat rapi.
Dia perhatikan anaknya, bingung apa yang dilakukan Hasan di dalam Taman. Bergegas menyusul anaknya ke dalam, setelah menitipkan nampan berisi beberapa bungkus kue tersisa kepada Wak Soleh. Ratih masuk dari pintu utama, dia buka engsel pintunya yang tak digembok. Masuk. Perlahan, takut mengagetkan anaknya.
Hasan berdiri memandangi makam-makam itu, dia baca nama-nama yang tertulis dalam nisan. Berjalan lagi mengitari kompleks makam yang luas. Berhenti pada sebuah makam tak bernama, tak ada tulisan sama sekali. Hanya nisan berwarna putih pucat, pudar. Dia bergumam seperti ada sesuatu yang dibisikinya. Jongkok di depan makam tersebut. Perlahan dia elus nisan makam tak bernama itu, pelan, berulang, matanya tak lepas mengikuti elusan tangannya. Berikutnya dia pegang topi dibawah nisan, terbuat dari semen mirip topi tentara yang sering dia lihat kalau berbaris. Warnanya agak pucat, hitam bahkan topi di makam sebelahnya sudah berlumut.
Hasan tersadar, ibunya sudah berada di samping, berdiri tak jauh. Tadi melangkah tak kedengaran, hati-hati bagai langkah pencuri. Takut kepergok.
“Mak, apa semua yang dikubur disini, pahlawan?,” Tanya Hasan membuka percakapan.
“Iya Nak, semua yang dikubur disini pahlawan,” sahut Ratih.
“Semua?”.
“Ya, semua!,” jawab Ratih tegas tak yakin.
Hasan termenung, berdiri, memandang ibunya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi tak bisa. Mulutnya terkunci rapat. Hening kembali. Dia beranikan menatap ibunya yang mengelus rambutnya, lembut, penuh kasih.
“Mak, bisakah Bapak dikubur disini?, bisakah Mak?”.
Ratih terkejut tak menyangka anaknya bertanya demikian. Dia peluk anaknya, tanpa sadar butir air mata mengalir. Hasan membenamkan dirinya dalam pelukan sang ibu. Menangis.
“Bisakah Mak?”. Suara Hasan berserak, menahan segukan tangis dalam pelukan sayang ibunya yang ikut menangis pula.
“Bukankah Bapak juga seorang pahlawan?”.
“Kata Mak dan orang sekampung, Bapak mati karena menyelamatkan orang di sungai. Mereka bilang Bapak Pahlawan”. Kali ini tangis Hasan lebih kencang. Deraian air mata ibu dan anak saling bertaut dihadapan makam terbentang bisu.
“Bisakah Bapak Hasan dikubur disini, Mak?,”.
Ratih hanya menangis, memeluk anaknya erat bagai takut kehilangan, tak memberi jawaban. Dia cium kepala anaknya dengan air matanya.resensi : http://sitohanguntuktapanuli.wordpress.com/
0

Cerpen (Pahlawan)

Namanya Pak Soleh. Mungkin karena postur tubuhnya yang luas, hasil perkalian dari panjang dengan lebar, Ia mendapat sebutan “Torren”, yaitu nama benda yang digunakan sebagai tempat penampungan air di atas rumah, jadi panggil saja Ia dengan Pak Torren. Dia tinggal di sebuah kota yang gila; tempat korupsi jadi keutamaan mencapai kemakmuran.

Pak Torren benci pegawai negeri, yang berkantor di ruangan berkursi kayu dan rotan yang sudah kusam, meja kayu yang dipenuhi bekas api rokok. Di atas lemari besi panjang yang dinamakan “filling cabinet” itu berderet map kertas dalam “box file” yang tidak jelas apa fungsinya.

Ia benci pekerjaan itu, dan dengan perasaan yang dirundung kebencian, disenandungkan pertanyaan pada Tuhan yang menarik garis takdirnya justru ke pekerjaan itu; menjadi pegawai negeri, di seksi kependudukan.

Pukul satu siang, kesempatan untuk melepas unek-unek di kepalanya datang. Mereka makan siang di kantin belakang kantor walikota. Dan setelah berbasa-basi, mulai disampaikannya pandangan masyarakat yang meremehkan pegawai negeri.

“Apa salahnya pegawai negeri? Kalau-pun digambarkan sebagai sebuah jabatan yang hanya dipenuhi pengabdian dengan secuil kesejahteraan, bukankah justru pandangan ini keliru? Pegawai negeri bukanlah orang-orang yang lemah, bukan orang-orang sepele yang patut diremehkan. Pegawai negeri yang menentukan status kependudukan, status rumah seseorang, menentukan pajak, ijin usaha para pengusaha, surat keterangan berkelakuan baik, surat sengketa tanah, surat nikah atau talak, nasib sekolah anak-anak. Jadi Kita tak bisa diremehkan, kalau-pun ada, Mereka dapat Kita anggap sebagai orang yang kurang menyadari diri.” Sebuah jawaban didapat dari Pak Walikota, saat Ia tanyakan pendapatnya berkenaan dengan opini yang berkembang di masyarakat.

“Memang sebagai pegawai negeri, Kita terikat birokrasi.” Lanjut Pak Walikota.

“Tapi ini adalah suatu keniscayaan, bahwa tak ada seorang-pun mampu mengelakkannya. Bukankah sudah banyak usaha untuk menyingkirkannya, namun hasilnya adalah sebuah lelucon. Lantas siapa yang salah? Pegawai Negeri? Birokrasi? Atau orang-orang yang ingin menghapus birokrasi?” Jawabannya kali ini dirasakan sangat memojokkannya. Entah apa Ia yakin dengan jawaban ini.

“Tapi Pak, Saya pikir ada baiknya jika kita mau berhenti sesaat guna mendengarkan keinginan masyarakat kita.” Pak Torren menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang pada banyak kejadian tidak adil yang telah terjadi.

“Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kekakuan, kemacetan segala urusan, jadi, apa tidak sebaiknya Kita telaah kembali aturan yang ada untuk diperbaiki?” bujuknya.

“Jangan berpikir! Jangan gunakan perasaan! Taati saja peraturan yang ada, maka Kamu senantiasa benar dan sudah pasti selamat.”

“Ahh.. ini jawaban atau sebuah doktrin” pikir Pak Torren.
Tidak-kah Ia merasa seperti yang kurasakan? Perlakuan terhadap masyarakat yang tidak mampu, mulai dari penggusuran kios-kios kecil di sepanjang jalan, pungutan liar bila ada orang yang ingin mengurus ijin atau surat-surat. Padahal dari pedagang kaki lima itu, kita tarik setoran bertitel retribusi. Dan masyarakat, kita bebani kewajiban untuk memberikan data diri juga ijin untuk melakukan banyak hal. Bukankah mereka yang justru menggerakkan roda ekonomi, dan sebagai catatan: Mereka tidak memperoleh pekerjaan itu dari Kita, dari Birokrasi atau dari pemerintah, yang selalu berkampanye untuk mengurangi pengangguran.

Ya! Mereka bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri, dan Kita tinggal memerasnya dengan berbagai peraturan. Tidak-kah Ia sadari bahwa adat dunia balas membalas? Apakah tenang hatinya setelah mendapat uang banyak hasil manipulasi yang dilakukan dengan bantuanku selama ini? Dana pemerintah, dana bantuan banjir, dana pendidikan, dan banyak lagi dana bantuan telah sukses dilencengkan.

Semua pertanyaan itu tinggal menjadi pertanyaan, karena Pak Walikota memberi isyarat tangan menyudahi pembicaraan sambil berlalu. Tinggal Pak Torren termangu dengan kegundahan, hingga air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam.

Lantas, apa sikapku sekarang? Menerima dan menjalankan doktrin itu? Rasanya seperti membasuh muka dengan air liur.

Jika tidak, apa Aku harus meninggalkan pekerjaan yang telah sepuluh tahun kujalani? Yang juga telah memberikan sebuah rumah berukuran 5x10 meter persegi dengan dua lantai. Sebuah rumah yang kubangun dari kumpulan amplop pemberian dari pimpinan. Otaknya tumpul, banyak ucapan berebut bicara dalam bathin bagai angin berputar dan ombak bersabung; tak jelas.

Jam tiga siang; seperti biasa Ia benahi meja kerja, kemudian pulang.

Tiga hari sebelumnya, Pak Torren bukanlah orang yang penuh pertimbangan antara akal dan perasaan. Dia adalah satu contoh dari tipikal masyarakat di negrinya, hanya saja, Ia selalu mengerjakan dengan baik segala tugas yang diembannya, dan kesetiaan pada pimpinan yang membuatnya memperoleh kepercayaan. Baginya, sekali beban terpasang di bahu, maka Ia junjung di kepala.

Hari itu, Jumat siang jam sebelas lewat. Kantornya kedatangan seseorang yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengannya. Sambil tersenyum Ia bertanya: “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?”

“Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyeberang” Jawab Pak Torren seraya menunjuk dengan ibu jarinya.

“Oh, begitu. Terima kasih Pak” Orang Penting tersebut tersenyum, sekilas Ia perhatikan meja kerja Pak Torren yang dipenuhi arsip juga dokumen yang sepertinya dalam tahap sedang dikerjakan. Diiihatnya dokumen tersebut sebagian besar adalah proposal dari perusahaan, pesantren atau pengurus mesjid. Kemudian dengan agak lambat Ia dekati Pak Torren penuh kehati-hatian, diajukannya pertanyaan dengan lembut: “Bapak mau Jumatan bareng dengan Saya?”

“Maaf, Saya masih sibuk, Saya tidak punya waktu” Tanpa menoleh Pak Torren melanjutkan pekerjaannya. Mungkin ingin menunjukkan ke orang lain, bahwa pegawai negri bukanlah pengangguran terselubung seperti pendapat orang kebanyakan.

“Wah! Hati-hati lho Pak!” masih dengan senyum, Orang Penting ini mengingatkan.

“Maksud Bapak?” Tanya Pak Torren dengan nada bingung dan sedikit tersinggung.

“Oh Tidak, Saya tak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkan bahwa sebaiknya Kita senantiasa berhati-hati dalam ucapan, karena bila Tuhan menjawab pinta Kita, dan memberikan Kita waktu yang lebih banyak, bukankah Kita malah jadi susah?” Orang ini menjawab dengan tebu yang ditanam di bibir; manis sekali.

“Waktu yang banyak, bisa berarti kita kehilangan banyak, mungkin kehilangan istri dan anak atau keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta. Atau meski itu semua tidak Kita miliki, bisa saja kita kehilangan kesehatan. Bukankah dengan itu semua Kita akan memiliki waktu lebih banyak?” Keduanya sunyi sejenak.

“Ya sudah Pak, maaf kalau ucapan Saya tidak berkenan di hati Bapak.” Sambil membungkukkan badan “Saya hanya sekedar mengingatkan sebagai sesama saudara, agar Kita senantiasa menjadi orang yang mawas diri tanpa perlu dipaksa oleh Tuhan” Masih dengan senyum “Saya permisi ya Pak!” Dan Ia pun melangkah menuju ke anak tangga, meninggalkan Pak Torren dengan gedoran keras di pintu hatinya. Pak Torren tidak lagi mempertanyakan siapa gerangan bapak tadi, juga maksud kedatangan di kantornya, karena nanti pasti Pak Walikota akan menyampaikan perihal orang tersebut. Namun gedoran itu mampu membuka pintu hati yang selama ini macet oleh karat.

Sudah tiga bulan lebih, Pak Torren aktif berorganisasi di luar kegiatan kantor. Bersama organisasi pemuda dan masyarakat, Ia turut mendukung aksi yang menuntut pemerintahan yang baik di instansinya. Awalnya banyak orang ragu akan perubahan sikap ini, namun kelamaan Mereka percaya. Bukan hanya masyarakat yang senang dengan perubahan ini, anak dan istrinya-pun mendukung, karena selama ini Mereka dikucilkan tetangga karena dianggap sebagai istri dan anak-anak yang dibesarkan dari hasil korupsi.

Namun tidak semua orang suka melihat perubahan ini. Pak Walikota sering menegurnya berkali-kali bahkan mengancam. Hingga Sabtu pagi rumah Pak Torren dan beberapa rumah di sekitarnya terbakar. Mungkin si pelaku ingin memberikan penerangan agar dipahami Pak Torren. Sayangnya teguran ini tidak berhasil. Maklum, api bisa membakar banyak, tapi menerangi hanya sebentar.

Meski Pak Torren meyakini satu hal, bahwa tak ada jalan yang pasti untuk menang, namun ada jalan yang pasti untuk tidak kalah, yaitu jangan bertanding. Pak Torren memilih bertanding, dengan hasil tubuh penuh luka bakar saat berusaha menyelamatkan anaknya yang masih kecil di lantai atas, ketika kebakaran terjadi. Keluarganya selamat.

Di rumah sakit, kunjungan orang penting yang pernah menasihatinya, sanggup membuat ceria. Orang tersebut, Pak Sungkono dari Badan Pemberantasan Korupsi. Dia menerima tumpukan dokumen dari anak Pak Torren. Dengan data ini, jatuh hukuman kurungan tiga tahun lamanya untuk Pak Walikota, hanya Sang Walikota. Tidak ada lapisan diatasnya yang ikut menginap di bui. Pak Walikota pasang badan sendirian, gagah berani. Hukuman orang seperti ini, biasanya akan banyak mendapat remisi, potong masa tahanan; bantuan dari “orang atas” yang telah menganggapnya pahlawan penyelamat muka. Sayangnya Pak Torren tidak bertahan lama untuk melihat hasil perjuangannya, entah karena luka bakar yang diderita atau memang Tuhan ingin segera menemuinya untuk sesuatu yang abadi yang bakal diterima; Pak Torren mangkat sebagai pahlawan.

Anak-anak dan istri Pak Torren menginap sementara di rumahku yang terletak tidak jauh dari lokasi kebakaran, sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya, di Purwokerto.

Aku tidak begitu mengenal Pak Torren serta tindak-tanduknya. Aku hanya mengenal anaknya yang sebaya denganku, tapi dari bapak-ku kisah ini diceritakan. Entah apa saja yang pernah diceritakan Pak Torren pada bapak-ku yang hanya seorang guru mengaji. Tapi satu hal yang kuingat saat di pemakaman. Tak satu-pun dari ketiga anaknya yang menangis tersedu-sedan, hanya wajah yang terlihat sedih dengan ucapan bangga: “Bapak, Kami bangga punya bapak sepertimu”. Dan istrinya bergumam lirih: “Suamiku, Engkau-lah pahlawanku”.

Sementara Aku hanya tahu: Di negriku, untuk menjadi pahlawan, orang harus mati!


resensi : http://mugi-cerpen.blogspot.com
0

Pendidikan Karakter Bangsa (Resensi)

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Saat ini tengah gencar-gencarnya membahas tentang pendidikan karakter bangsa. Sehingga dalam pembelajaran sehari-hari para guru dituntut untuk memasukkan muatan pendidikan karakter bangsa.

Masalahnya bagi guru-guru penggerak roda pendidikan yang ada di bawah alias para praktisi ini kurang mendapat sosialisasi. Sehingga banyak diantara mereka yang tidak tahu muatan dari pendidikan karakter bangsa itu meliputi apa saja sih?

Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Kaarakter Bangsa

1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin : Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
5. Kerja Keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6. Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8. Demokratis : Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
11. Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai : Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi
17. Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab : Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga dapat bermanfaat dalam penerapan pendidikan karakter bangsa. Sehingga cita-cita untuk menjadi bangsa yang berkarakter segera terwujud.